Sektor properti di Indonesia adalah salah satu penggerak utama roda ekonomi nasional. Ia tidak hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga menggerakkan banyak sektor pendukung mulai dari bahan bangunan, perbankan, hingga jasa hukum. Di balik segala geliat itu, Real Estate Indonesia (REI) tampil sebagai aktor penting yang mewakili suara para pengembang dalam menghadapi berbagai dinamika regulasi, salah satunya soal pajak. Pajak properti kini menjadi sorotan utama karena dinilai bisa menghambat pertumbuhan jika tidak ditata dengan cermat.
Di tengah upaya pemerintah meningkatkan penerimaan negara, sektor properti menjadi salah satu target potensial. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penjualan rumah, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), hingga Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menjadi beban yang tidak bisa dianggap enteng—baik bagi pengembang maupun konsumen. Terlebih lagi, rencana pengenaan PPN sebesar 11% untuk rumah komersial kerap menuai kontroversi. Banyak pihak khawatir kenaikan ini akan berdampak pada daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah, yang selama ini menjadi tulang punggung pasar perumahan nasional.
REI secara konsisten menyuarakan aspirasi agar ada regulasi perpajakan yang lebih adil dan berpihak pada pertumbuhan industri. Dalam banyak forum, REI mendorong relaksasi pajak untuk jenis properti tertentu seperti rumah subsidi, rumah tapak untuk masyarakat berpenghasilan rendah, dan hunian vertikal di daerah padat. Tujuan dari desakan ini bukan untuk menghindari kewajiban pajak, melainkan untuk mendorong iklim investasi yang lebih sehat dan kompetitif.
Namun di sisi lain, pemerintah juga berada dalam posisi yang tak kalah kompleks. Di tengah kebutuhan pembiayaan pembangunan dan penguatan fiskal pasca pandemi, sektor properti memang menjadi ladang penerimaan yang besar. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung, harga tanah melonjak tajam dalam dua dekade terakhir. Pajak properti progresif dianggap sebagai langkah untuk menciptakan keadilan—di mana mereka yang memiliki banyak aset atau tanah luas, dikenakan tarif lebih tinggi dibanding pemilik rumah kecil atau satu unit tempat tinggal.
Meski begitu, di lapangan sering kali terjadi ketimpangan dalam implementasi. Salah satu masalah terbesar adalah ketidaksesuaian antara NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) yang ditetapkan pemerintah daerah dan harga pasar yang sebenarnya. Banyak wajib pajak merasa terbebani karena pajak yang dibayarkan tak mencerminkan kondisi riil. Ini memunculkan urgensi untuk mereformasi sistem penilaian dan mendigitalisasi data pajak tanah serta bangunan agar lebih transparan dan akurat.
Pengembang juga menghadapi dilema. Di satu sisi, mereka ingin menekan harga agar tetap terjangkau dan bersaing. Di sisi lain, beban pajak yang tinggi menambah total biaya pembangunan, yang akhirnya terpaksa dialihkan ke konsumen. Ini membuat harga properti semakin sulit dijangkau, terutama di kawasan urban. Akibatnya, permintaan menurun, proyek tertunda, dan roda ekonomi pun tersendat.
Selain pengembang, masyarakat sebagai pembeli juga harus melek pajak. Tidak sedikit calon pembeli properti yang kurang memahami struktur pajak yang harus ditanggung saat membeli rumah atau tanah. Misalnya, BPHTB yang mencapai 5% dari harga transaksi, PPN jika membeli properti baru, dan PPh Final jika melakukan penjualan kembali. Edukasi pajak menjadi penting agar masyarakat bisa menghitung dengan cermat biaya total dalam setiap transaksi properti.
Menyadari pentingnya harmonisasi kebijakan, REI terus membangun komunikasi aktif dengan Kementerian Keuangan, Kementerian ATR/BPN, dan pemerintah daerah. Mereka slot gacor hari ini mengusulkan insentif pajak untuk proyek perumahan rakyat, sistem zonasi pajak yang lebih adil, serta penyederhanaan izin dan administrasi perpajakan. Beberapa daerah sudah mulai merespons dengan memberikan keringanan PBB untuk rumah pertama atau pemilik dengan penghasilan terbatas.
Kolaborasi ini akan menjadi kunci untuk memastikan industri properti tetap bergerak maju tanpa mengabaikan kontribusi pada penerimaan negara. REI juga mengajak para pengembang untuk lebih terbuka dan transparan dalam pelaporan pajak, serta berinovasi dalam menciptakan produk hunian yang efisien namun tetap memenuhi standar kualitas.
Pada akhirnya, tantangan pajak di sektor properti bukan sekadar soal angka, tapi menyangkut keseimbangan antara pembangunan ekonomi, keadilan sosial, dan keberlanjutan bisnis. Dengan regulasi yang akomodatif dan dukungan kuat dari berbagai pemangku kepentingan, Indonesia bisa memiliki sektor properti yang tumbuh sehat dan berkelanjutan, tanpa meninggalkan prinsip keadilan fiskal yang menjadi fondasi penting dalam pembangunan bangsa.
BACA JUGA SELENGKAPNYA KLIK DISINI: Cara Menghitung Pajak Penghasilan (PPh) dengan Mudah di Tahun 2025